Jakarta - Sejumlah pejabat dan politisi ramai-ramai menyeberang ke Partai Demokrat. Mereka menyiapkan sejumlah alasan soal lompat pagar tersebut. Tapi pengamat filsafat politik Rocky Gerung menganggap mereka tidak memiliki etika.
"Ini lebih berbahaya dari penipu. Waktu Pemilu, dia meminta suara dan dukungan dari masyarakat, tapi sudah selesai pemilu, suara itu justru dilimpahkan ke partai politik lainnya. Ini lebih tidak sopan, dan ini lebih buruk dari debt collector," kata Rocky.
Pengajar Filsafat di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (UI) ini juga menganalogikan politisi kutu loncat ini sebagai pencuri yang telah menyerahkan barang curian, yaitu suara rakyat kepada penadah, yaitu partai politik barunya yang menerima politisi bersangkutan.
"Orang yang melakukan dan menjadi kutu loncat dan yang menerima atau kandang kutu loncat telah memberikan pelajaran yang buruk kepada publik. Karena, dua-duanya menikmati hal yang haram, kalau menggunakan tata bahasa agama," imbuhnya.
Belum lama ini sejumlah politisi meloncat dari partai lamanya ke Partai Demokrat. Mereka antara lain mantan Ketua DPD Golkar Ilham Arif Sirajudin, Gubernur NTB Zainul Majdi, yang juga kader Partai Bulan Bintang. Kemudian menyusul Yusuf Macan Effendi atau lebih dikenal dengan Dede Yusuf, dari PAN juga ikut berlabuh ke PD.
Berikut wawancara M Rizal dari detikcom dengan Rocky Gerung, Kamis (21/4/2011) pagi:
Bagaimana anda melihat fenomena politisi pindah partai politik, kenapa 'kutu loncat' ini selalu terjadi dalam perpolitikan di Indonesia?
Begini, menurut saya secara logika biasa saja, misalnya anda menerima uang dari saya karena ada suatu kebutuhan tertentu. Saya kasih uang itu, tapi ternyata uang itu anda bayarkan untuk debt collector. Artinya sudah curang dan culas pula.
Ini artinya ini lebih berbahaya dari penipu. Waktu pemilihan umum (Pemilu), dia meminta suara dan dukungan dari masyarakat (atas nama partai sebelumnya), tapi sudah selesai pemilu, suara itu justru dilimpahkan ke partai politik lainnya. Ini lebih tidak sopan, dan ini lebih buruk dari debt collector.
Kalau dia mau fair dan adil, dia seharusnya memberitahukan sebelumnya kepada konstituen dan meminta maaf, misalnya mengatakan maaf uang yang anda pinjamkan dulu tidak dipakai untuk membeli obat, tapi untuk kebutuhan lain dahulu. Ini akan bisa lebih dipertanggungjawabkan, tapi ini kan tidak terjadi.
Kalau ditanya apa motif para 'Kutu Loncat' ini, motifnya jelas adalah dia mencari keuntungan yang besar. Misalnya karena dia akan mendapatkan jaminan tertentu, entah itu persoalan hukum dan politis lainnya, seperti ingin mendapatkan peluang dipilih lagi dalam pemilu berikutnya. Apalagi Partai Demokrat, misalnya lebih populer.
Melihat tingkah politisi seperti ini, tentunya tanggung jawabnya sebagai warga negara di mana dia harus mempertanggungjawabkan kepada masyarakat nol besar. Kan kita melihat ini sebetulnya, orang pindah dari Partai A ke Partai B seperti itu motifnya seperti kutu loncat.
Seharusnya partai politik yang menerimanya harus curiga. Boleh jadi dia telah menyogok partai barunya itu, itu seharusnya ditolak oleh partai itu sendiri. Misalnya pindah ke PD atau PDIP, lalu pindah lagi ke partai lain, itu seharusnya tidak boleh terjadi. Okelah itu dikatakan demokratis, tapi demokratis harus berjalan sesuai dengan akal sehat.
Politisi kutu loncat ini apakah khas di Indonesia saja, atau terjadi di negara lainya? Apa bedanya?
Kalau di luar negeri saya kira, tingkat kewaspadaan publiknya sudah cukup tinggi. Kewaspadaan publik dari awal sudah dikemukakan bahwa seharusnya orang yang menjadi kutu loncat itu tidak dapat dukungan publik dan dukungan sosial. Karena itu akan mendapatkan sanksi sosial.
Sifat hiprokit dan penuh kemunafikan itu di dalam partai politik tidak akan punya hak politik dalam kepartaian, karena tidak bisa dipercayai. Artinya, di Indonesia partai politik itu tidak mendidik menjadi sebuah organisasi kepartaian, tapi bersifat seperti outsourching saja. Ini tentu ada sesuatu yang salah besar di dalam dunia kepartaian politik kita.
Fenomena kutu loncat ini terjadi karena sistem politik yang buruk atau faktor individu yang terobsesi kekuasaan?
Sebenarnya kalau dia memahami tentang sistem kewarganegaraan dan politik yang baik, dia akan selalu menghormati konstituennya dan menyerahkan sepenuhnya kepada konstituennya juga. Begitu juga dia akan meminta maaf bila tidak bisa lagi mempertanggungjawabkan mandatnya selama ini agar publik juga tidak dirugikan. Ini kan akan lebih fair, walau pun dia sudah lebih lima tahun di sana.
Jangan sampai publik mempertanyakan kepadanya, anda sudah ngemis-ngemis suara rakyat, tapi mengabaikan rakyat sendiri, ya itu harus dipertanggungjawabkan. Kalau sudah begini, apalagi kalau bukan memang obsesi kekuasaan dia kalau berpindah-pindah seperti itu dengan mengabaikan rakyat.
Tapi SBY dan Partai Demokrat seperti menikmati fenomena kutu loncat ini?
Ya dua-duanya. Orang yang melakukan dan menjadi kutu loncat dan yang menerima atau kandang kutu loncat telah memberikan pelajaran yang buruk kepada publik. Karena, dua-duanya menikmati hal yang haram, kalau menggunakan tata bahasa agama. Analoginya, para pencuri ini telah menyerahkan barang curiannya kepada penadah. Sama saja partai politik baru bagi para kutu loncat ini disebut sebagai penadah. Mereka tidak akan berpikir panjang lagi ke depannya.
Namanya juga penadah, dia hanya ingin mendapatkan keuntungan dalam jangka pendek saja, tidak lagi memikirkan tentang pendalaman pendidikan politik kepada partai politik dan masyarakatnya. Dia (parpol) seperti broker politik, yang sebenarnya tidak cocok jadi sebuah organisasi partai politik. Dia tidak ada ketulusan dan kecerdasan untuk merawat demokrasi dan tidak memelihara apa yang menjadi harapan masyarakatnya.
Adakah solusi mengatasi persoalan pragmatisme para politisi ini?
Di dalam demokrasi memang ada aturan hukum, tapi juga berjalan di atas kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itu, ini yang harus dipelihara setiap periode lima tahunan dan itu dasarnya atas kepercayaan. Misalnya, kepercayaan saya memberikan kredit kepada anda, tapi diselewengkan untuk kepentingan lain, artinya sebagai nasabah anda bukan nasabah yang baik, itu seperti di dunia perbankan.
Jadi ini soal mental politik para politisi kita yang buruk. Kalau saya diposisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, misalnya, saya akan tolak orang-orang seperti itu masuk ke PD. Sebab, orang seperti itu tidak memberikan tata politik yang baik juga buat masyarakat. Pak SBY harus memberikan pelajaran yang baik kepada rakyat. Tapi ini kan jauh panggang dari api.
Sanksi apa yang seharusnya diberikan kepada kutu loncat itu?
Tentunya ya sanksi sosial. Sanksi ini jangan terlambat lagi sampai lima tahun lagi. Tapi sanksi sosial ini seharusnya juga diberikan partai politik juga, seharusnya partai politik itu juga menolak menerima mereka, dari para kutu loncat dan ulat bulu.
Secara umum mereka telah membohongi publik. Mereka akan selalu melihat rumput di sebelah rumah atau rumah tetangga itu lebih hijau. Orang-orang seperti ini tentunya tidak memiliki etika dan tidak punya tanggung jawab serta mental yang baik. Seharusnya mereka tidak boleh menjadi politisi. Karena menjadi seorang politisi itu, seharusnya dia paham dan mengerti betul serta harus mengorbankan kepentingannya untuk kepentingan publik dan masyarakat. Itu saja.
Sumber : www.detik.com
0 Komentar