Membedakan Antara Konspirasi Nyata dan Teori Konspirasi


Menurut KBBI, konspirasi adalah komplotan; persekongkolan. Konspirasi (sungguhan) memang nyata dan bisa terjadi. 

Sebut saja skandal Dieselgate oleh Volkswagen yang terungkap pada tahun 2015. Produsen mobil ternama asal Jerman ini bersekongkol untuk menipu tes emisi untuk mesin diesel mereka. Contoh lain, Badan Keamanan Nasional AS (U.S. National Security Agency) diam-diam memata-matai pengguna internet sipil pada tahun 2014. Industri tembakau menipu masyarakat tentang efek kesehatan yang berbahaya dari merokok sejak tahun 1980-an. 

Kasus-kasus di atas merupakan bentuk konspirasi. Kita bisa mengetahui konspirasi-konspirasi tersebut melalui bukti-bukti nyata; dokumen internal industri, investigasi pemerintah, liputan investigasi media, atau pelapor.

Sebaliknya, teori konspirasi, cenderung bercokol dalam waktu yang lama, bahkan ketika sudah tidak ada lagi bukti yang meyakinkan. Teori konspirasi dibangun atas berbagai pola pikir yang tidak bisa diandalkan untuk menelusuri suatu kenyataan. Alhasil, teori konspirasi biasanya tidak didukung oleh bukti-bukti konkret.

Misalnya, ada banyak orang yang percaya bahwa serangan teroris 9/11 adalah “ulah orang dalam”. Pemikiran ini bertahan selama bertahun-tahun setelah peristiwa tersebut. 

Konspirasi sebenarnya memang ada, tetapi jarang terkuak melalui metode teori konspirasi. Konspirasi nyata justru ditemukan melalui pemikiran konvensional. Yaitu dengan skeptisisme yang sehat terhadap laporan resmi, sambil mempertimbangkan dengan cermat bukti yang terpampang dan konsisten. 

Sebaliknya, pemikiran teori konspirasi ditandai dengan sikap skeptis secara berlebihan terhadap semua informasi yang tidak sesuai dengan narasi teori. Lalu, menafsirkan bukti secara berlebihan yang mendukung teori yang disukai, serta tidak konsisten alias selalu berubah-ubah.

Mengapa orang suka teori konspirasi?

Media sosial menciptakan semesta tersendiri, tempat setiap individu dapat dengan mudah menjangkau satu sama lain. Begitu pula dengan kalangan yang mempercayai teori konspirasi, menemukan kerumunannya di media sosial. 

Sama seperti misinformasi/disinformasi, teori konspirasi menyebar lebih jauh dan lebih cepat secara online daripada informasi yang sebenarnya. Didorong oleh akun palsu atau “bot”, konsumen teori konspirasi lebih rentan untuk memberi like dan berbagi postingan teori konspirasi di media sosial.

Menurut The Conspiracy Theory Handbook, ada beberapa alasan mengapa seseorang mudah tertarik oleh teori konspirasi. Berikut ulasannya agar kita tidak terkecoh: 

· Orang-orang yang merasa tak berdaya atau lemah, cenderung mendukung dan menyebarkan teori konspirasi. Anda bisa lihat bagaimana orang-orang tiba-tiba merasa terancam bersama-sama saat satu akun mengunggah teori konspirasi di forum online.

· Teori konspirasi ‘bisa menjelaskan’ kejadian yang mustahil terjadi. Untuk itulah, orang cenderung menawarkan suatu pemikiran konspirasi untuk menjelaskan peristiwa yang rumit atau bahkan mustahil. Teori konspirasi bertindak sebagai coping mechanism (mekanisme koping) untuk membantu orang menemukan solusi atas ketidakpastian.

· Teori konspirasi juga tampak menyelesaikan masalah dan ancaman. Hal ini membuat orang menemukan solusi bagi suatu peristiwa yang mengancam, yakni dengan memfokuskan kesalahan pada sekelompok konspirator. Masyarakat umum akan sulit menerima dan mencerna bahwa peristiwa “besar” (misalnya, kematian Putri Diana) dapat memiliki penyebab biasa (mengemudi sambil mabuk). Di sinilah sebuah teori konspirasi berperan memenuhi kebutuhan jawaban akan peristiwa “besar”. Sehingga, banyak yang percaya Putri Diana dibunuh oleh operasi MI5.

· Biasanya menentang politik arus utama. Maka, kelompok konspirasi sering menggunakan narasi seperti itu untuk mengklaim status minoritas untuk membantah interpretasi politik arus utama.

Ciri-ciri pemikiran mengandung teori konspirasi

 Ada tujuh ciri pemikiran teori konspirasi yang bisa Anda deteksi. Tujuh ciri ini disingkat dengan akronim CONSPIR:

 

· Contradictory (Kontradiktif atau bertolak belakang): Teori konspirasi biasanya secara bersamaan percaya pada ide-ide yang saling bertentangan. Misalnya, percaya teori bahwa Putri Diana dibunuh tetapi juga percaya bahwa dia memalsukan kematiannya sendiri.

· Overriding suspicion (Mengesampingkan kecurigaan): Teori konspirasi melibatkan tingkat skeptisisme nihilistik terhadap laporan resmi. Tingkat kecurigaan yang ekstrem ini mencegah orang untuk percaya pada apa pun yang tidak sesuai dengan teori konspirasi.

· Nefarious intent (Niat jahat): Selalu menganggap siapapun jahat. Teori konspirasi tidak pernah menganggap bahwa pihak lawan memiliki motivasi baik sedikitpun.

· Something must be wrong (Pasti ada yang salah): Pendirian kaum teori konspirasi selalu berpendapat "ada sesuatu yang salah" dan otoritas resmi selalu dituding “menipu”. Meskipun teori konspirasi kadang-kadang dapat terbantahkan oleh perkembangan terbaru sehingga tudingan mereka tidak lagi dapat dipertahankan, hal itu tak mengubah kesimpulan keseluruhan pemikiran mereka.

· Persecuted victim (Korban teraniaya): Teori konspirasi memandang dan menampilkan diri mereka sebagai korban persekusi terorganisir. Pada saat yang sama, mereka melihat diri mereka sebagai antagonis pemberani yang melawan para konspirator jahat. Mereka mempersepsikan diri sebagai korban dan pahlawan secara bersamaan.

· Immune to evidence (Kebal terhadap bukti): Teori konspirasi menyegel diri dari bukti-bukti yang bisa ditafsirkan sebagai melawan teori konspirasi itu sendiri. Mereka menganggap bukti yang membantah teori mereka adalah konspirasi berikutnya.

· Re-interpreting randomness (Menafsirkan ulang keserampangan): Pemikiran teori konspirasi selalu menaruh kecurigaan besar dan menilai bahwa “tidak yang namanya kebetulan”. Peristiwa acak kecil, seperti jendela utuh di Pentagon setelah serangan 9/11, ditafsirkan kembali sebagai disebabkan oleh konspirasi. Karena menurut mereka, jika sebuah pesawat menabrak Pentagon, maka semua jendela akan pecah. [sumber : tempo.co.id]

 

Posting Komentar

0 Komentar