Membangun Kembali Kejujuran : Menyemai Integritas dalam Dunia Pendidikan Indonesia

Dalam beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Temuan itu mengungkapkan kenyataan pahit: praktik menyontek terjadi di 78% sekolah dan 98% perguruan tinggi di Indonesia. Tidak hanya itu, praktik pungutan liar juga teridentifikasi di hampir separuh sekolah dan lebih dari separuh kampus. Fakta ini, meski mengundang keprihatinan mendalam, justru membuka peluang emas: kesempatan untuk membangkitkan kembali budaya kejujuran di dunia pendidikan kita.

Pendidikan seharusnya menjadi tempat suci untuk menanamkan nilai luhur seperti integritas, keadilan, dan tanggung jawab. Ketika lembaga pendidikan tercemar praktik ketidakjujuran, maka rusaklah akar bangsa itu sendiri. Kita perlu merenung lebih dalam: bagaimana mungkin kita berharap pada generasi masa depan, jika dari awal saja, kejujuran sudah dikompromikan?

Mendiagnosis Krisis Integritas

Fenomena meluasnya praktik kecurangan akademik bukan terjadi dalam ruang hampa. Ada faktor-faktor struktural, kultural, dan individual yang saling terkait, menciptakan krisis integritas ini.

1. Budaya Hasil Instan

Salah satu akar masalah yang harus diakui adalah mentalitas hasil instan. Anak-anak muda didorong untuk mencapai nilai tinggi, bukan untuk benar-benar memahami materi. Nilai menjadi tujuan akhir, bukan proses pembelajaran itu sendiri. Dalam situasi seperti ini, menyontek menjadi pilihan pragmatis yang dianggap wajar. Ini memperlihatkan bahwa ada kegagalan mendasar dalam memaknai pendidikan.

2. Tekanan Sosial dan Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan kita sering kali terlalu berorientasi pada capaian kuantitatif: nilai ujian, ranking, IPK. Tekanan ini diperparah oleh ekspektasi sosial: orang tua mengharapkan nilai sempurna, sementara sistem penerimaan kerja dan beasiswa menggunakan standar akademik yang kaku. Akibatnya, banyak peserta didik merasa bahwa "yang penting lulus, apapun caranya."

3. Keteladanan yang Buruk

Ketika praktik pungli masih marak di sekolah dan kampus, peserta didik belajar bahwa manipulasi dan kecurangan adalah "normal." Jika tenaga pendidik dan pengelola lembaga pendidikan sendiri tidak memperlihatkan integritas, maka upaya pembelajaran nilai kejujuran menjadi sia-sia. Integritas bukan diajarkan lewat kata-kata, tetapi lewat teladan nyata.

Lembaga Pendidikan dalam Tekanan Publik

Beredarnya berita buruk seperti ini menyebabkan masyarakat memandang lembaga pendidikan dengan sinis. Sekolah dan kampus seolah menjadi simbol kegagalan moral. Namun, dibalik kritik keras itu, kita perlu memahami bahwa menghujat lembaga pendidikan saja tidak menyelesaikan masalah.

Yang lebih penting adalah: bagaimana kita sebagai bangsa mengambil tanggung jawab kolektif untuk mengembalikan pendidikan ke jalur yang benar?

Menyemai Kembali Benih Integritas

Jika kita ingin memperbaiki keadaan, perubahan harus terjadi pada tiga level sekaligus: individu, lembaga, dan sistem.

1. Pembentukan Karakter Sejak Dini

Nilai kejujuran harus ditanamkan sejak usia dini, bahkan sebelum anak masuk ke dunia formal pendidikan. Keluarga menjadi pilar utama. Orang tua perlu membangun budaya kejujuran di rumah: tidak membenarkan kebohongan kecil, tidak membantu anak "mencurangi" PR dan tidak mementingkan nilai semata dibanding proses belajar.

2. Reformasi dalam Kurikulum

Pendidikan karakter tidak boleh menjadi sekadar formalitas. Kurikulum perlu direformasi agar mendorong peserta didik berpikir kritis, memiliki keberanian moral dan mampu menghargai proses. Evaluasi akademik perlu dikombinasikan dengan evaluasi integritas.

Misalnya, dalam ujian tertentu, peserta didik diberi kebebasan memilih soal atau membawa catatan terbuka, namun tetap diuji kemampuannya berpikir, bukan sekadar menghafal.

3. Keteladanan dari Pendidik dan Pimpinan Lembaga

Seorang guru yang jujur lebih kuat pengaruhnya daripada seribu ceramah tentang kejujuran. Lembaga pendidikan harus secara tegas menerapkan kode etik: dosen dan guru yang melakukan pungli atau manipulasi data harus diberi sanksi nyata.

Sebaliknya, pendidik yang menunjukkan integritas tinggi harus diberi penghargaan, termasuk ruang untuk berbagi praktik baik kepada rekan sejawat.

4. Sistem Pengawasan dan Transparansi

Sekolah dan kampus harus berani membuka diri terhadap audit publik. Sistem laporan pelanggaran (whistleblower system) perlu dibuat aman dan anonim, sehingga siswa atau mahasiswa berani melaporkan praktik kecurangan tanpa takut dibalas.

Selain itu, transparansi dalam penggunaan dana, penerimaan siswa baru, hingga penyelenggaraan ujian, harus menjadi standar operasional minimal.

Mengubah Narasi Publik: Dari Mencaci ke Membina

Kita tidak bisa membiarkan dunia pendidikan terus menjadi sasaran bullian. Kritik memang penting, tapi harus diiringi dengan narasi pembinaan.

Masyarakat perlu didorong untuk:

a.     Mengapresiasi lembaga pendidikan yang jujur, bukan hanya menghukum yang bermasalah.

b.     Mendorong perubahan dari bawah, misalnya dengan gerakan siswa dan mahasiswa yang berkomitmen pada integritas akademik.

c.     Membangun komunitas belajar yang sehat, di mana kesalahan bukan aib, tapi bagian dari proses pertumbuhan.

Pendidikan adalah tanggung jawab seluruh bangsa, bukan hanya tugas guru di ruang kelas.

Tantangan ke Depan

Tentu membangun budaya kejujuran bukan pekerjaan satu atau dua tahun. Ini adalah perjuangan lintas generasi. Beberapa tantangan berat yang harus dihadapi antara lain:

a.     Resistensi dari dalam sistem: banyak pihak yang nyaman dengan status quo.

b.     Tekanan pragmatisme ekonomi: kebutuhan untuk "cepat sukses" membuat godaan kecurangan tetap tinggi.

c.     Perubahan sosial global: budaya instan yang diperkuat media sosial membuat nilai kejujuran semakin terpinggirkan.

Namun justru di sinilah arti penting dari keteguhan moral. Membangun budaya integritas membutuhkan ketekunan, keberanian, dan konsistensi.

Survei KPK tentang tingginya praktik menyontek dan pungli di dunia pendidikan harus menjadi alarm keras, tetapi bukan untuk sekadar menyalahkan atau mencemooh. Ini harus menjadi panggilan moral untuk membangkitkan kembali komitmen bangsa terhadap kejujuran dan integritas.

Pendidikan adalah medan tempur utama dalam perang melawan budaya korupsi. Jika kita mampu memperbaiki dunia pendidikan, maka kita sedang menyiapkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berani menjaga integritas di tengah godaan.

Maka, marilah kita bergandengan tangan: keluarga, sekolah, perguruan tinggi, pemerintah dan masyarakat umum untuk bersama-sama menyemai kembali benih kejujuran dalam dunia pendidikan Indonesia.

Karena bangsa yang besar, adalah bangsa yang pendidikannya berakar kuat pada kejujuran. [ir/280425]

Posting Komentar

0 Komentar