Radio itu ibarat sahabat pertama saya. Dinyalakan pagi, didengarkan sore dan diputar-putar sampai dapat siaran dari luar negeri malam hari. Pakai baterai Eveready atau ABC, yang kalau mulai soak, cukup dijemur di bawah terik sinar matahari kota Pekanbaru. Entah sugesti, entah teori elektrokimia darurat yang penting siaran jalan lagi. Dan TV? Ah, itu barang mewah. Di Pekanbaru saat itu, TV butuh antena setinggi 25 meter, dan kalau dapat gambar pun, kebanyakan siaran dari Malaysia. Kalau mau nonton berita Indonesia, harus pasang niat, doa dan cemilan dulu.
Waktu masuk SMP, gairah saya makin naik voltasenya. Saya mulai main walkie-talkie rakitan. Kadang cuma bisa komunikasi dari dapur ke halaman, tapi rasanya sudah seperti komunikasi internasional. Setiap bicara pasti ditutup dengan kata sakti: “Rojer, rojer!” Padahal lawan bicaranya cuma teman sebelah rumah. Tapi gaya harus kayak pilot NASA.
Lanjut ke STM Elektronika, di sinilah saya benar-benar merasa “pulang ke habitat”. Hobinya makin liar bukan cuma walkie-talkie, tapi sudah masuk ke dunia pemancar: 80 meteran, 11 meteran, sampai 2 meteran. Malam minggu bukan waktunya pacaran, tapi jamming di frekuensi, nyalain ht dan ngomong di udara kayak operator darurat dan tetap tune di 75 Khz siaran radio Swaradia Pekanbaru dengan acara favorit Pilihan Pendengar (Pilpen) dengan penyiar favorit Mas Kali-Kali.
“Ya rojer, copy good, signal lima lima modulasi mantap… qsy ke frekuensi cadangan, over!”
Teman saya dulu pamer pacarnya, saya malah pamer antena.Itu seni instalasi dengan campuran kabel tembaga, galah bambu dan semangat tinggi.
Tapi hidup memang penuh plot twist. Setelah lulus STM, saya… nyasar. Tahun 1987 saya malah kuliah di Diploma 3 Akademi Manajemen Informatika Komputer (AMIK) Padang. Katanya sih biar lebih masa depan. Tapi dalam hati kecil saya tetap merasa lebih dekat ke PTT (Pos, Telegraf, dan Telepon) daripada Dbase 3+ dan Cobol.
Meski begitu, hobi radio 2 meteran tak pernah padam. Saya tetap aktif sampai tahun 2021. Dari pakai HT monoband, rig, sampai ikut komunikasi darurat saat bencana. Bagi saya, suara di udara itu bukan cuma hobi, tapi nostalgia hidup yang memancar terus.
Dan soal gelar Ir.?
Yah, sayangnya sampai hari ini belum pernah saya dapat resmi. Karena setelah
lulus AMIK, saya malah asyik jadi instruktur kursus komputer. Lanjut S1
dan S2 di Teknologi Informasi, dan tenggelam dalam dunia jaringan, database, coding
mahasiswa dan sekarang malah konsen kalau bahas digital marketing. Tapi dalam
hati, panggilan Ir. tetap melekat. Bukan gelar akademik, tapi gelar
penuh kenangan, dipatenkan oleh keluarga sejak tahun 1967.
Jadi, kalau hari ini saya dipanggil Ir., saya jawab santai:
“Iya, saya Ir. sejak lahir. Bukan karena ijazah, tapi karena radio tua, walkie-talkie rakitan, dan antena bambu setinggi semangat.”
Rojer-rojer. Over and out.
[Dumai, 12 Juni 2025]

0 Komentar