Keputusan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir jutaan rekening bank yang tidak aktif menuai polemik luas. Hingga pertengahan 2025, sebanyak 31 juta rekening dibekukan, dengan nilai total dana mencapai lebih dari Rp6 triliun, termasuk di dalamnya Rp2,1 triliun dana bantuan sosial (bansos) yang ternyata banyak dialokasikan ke rekening yang tidak jelas kepemilikannya.
Langkah ini diklaim sebagai bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dengan fokus pada rekening pasif yang tidak menunjukkan aktivitas selama tiga bulan berturut-turut. Rekening yang dikategorikan sebagai dormant ini dianggap rawan disalahgunakan, namun ternyata juga banyak ditemukan sebagai tujuan penyaluran bansos yang tidak sampai ke tangan yang berhak.
“PPATK hanya bertindak sesuai tugas analisis keuangan dan atas permintaan penegak hukum,” ujar pernyataan resmi lembaga tersebut. Namun di lapangan, fakta menunjukkan keresahan publik meningkat, apalagi sejumlah nasabah menyatakan tidak pernah diberi notifikasi sebelum rekening mereka diblokir.
Kebijakan ini pun dikhawatirkan dapat mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, terutama karena menyasar rekening yang secara administratif sah, namun tidak aktif dalam jangka waktu tertentu.
Paling mengkhawatirkan, penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa banyak rekening penerima bansos yang masuk kategori dormant, namun setelah ditelusuri lebih dalam, tidak memiliki pemilik yang bisa diverifikasi. Ini membuka ruang dugaan bahwa bansos disalurkan ke rekening "siluman", atau setidaknya tidak tepat sasaran.
Trust Publik dan Logika Sosial Dipertaruhkan
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah distribusi bansos selama ini sudah sesuai prinsip kehati-hatian? Jika rekening dormant yang diblokir ternyata justru menyimpan dana bansos, maka problem utamanya bukan hanya soal teknis perbankan, tetapi juga soal kebijakan sosial yang tidak akurat.
Asosiasi perbankan menilai langkah PPATK ini perlu dievaluasi dengan serius agar tidak menimbulkan kerugian reputasi bagi bank dan keresahan di kalangan nasabah kecil.
“Kepercayaan itu mahal. Sekali masyarakat merasa rekening mereka bisa diblokir sepihak tanpa alasan yang mereka pahami, maka ketakutan massal bisa muncul. Orang akan beralih ke sistem simpan manual,” tambah Hasan.
Evaluasi, Bukan Sekadar Alasan Formal
Para pengamat mendorong agar evaluasi lintas kementerian dan lembaga segera dilakukan, termasuk sinkronisasi data bansos, transparansi penerima manfaat, dan peran PPATK sebagai lembaga intelijen keuangan bukan eksekutor kebijakan pemblokiran tanpa proses yang terbuka.
PPATK diminta kembali ke khitah: menggali informasi, bukan menggali lubang bagi kepercayaan publik. [ir/dmi-310725]

0 Komentar