Langkah strategis ini ditandai dengan penunjukan PT Eka Mas Republik (MyRepublic) dan PT Telemedia Komunikasi Pratama (Viberlink) sebagai pemenang lelang penyelenggaraan layanan internet pita lebar nasional. Meskipun kebijakan ini membuka peluang besar bagi percepatan literasi digital dan pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi, sejumlah risiko implementasi tetap perlu dikaji secara kritis agar tujuan pemerataan digital dapat tercapai secara berkelanjutan.
Latar Kebijakan dan Tujuan Pemerintah
Kebijakan pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz merupakan bagian dari strategi nasional untuk meningkatkan penetrasi internet, terutama di wilayah yang belum terjangkau jaringan cepat. Pemerintah menargetkan tersedianya layanan internet dengan kecepatan minimal 100 Mbps dan tarif sekitar Rp100.000 per bulan [1].
Pemilihan spektrum gelombang rendah memiliki keunggulan teknis berupa jangkauan luas hingga sekitar lima kilometer per menara, sehingga lebih efisien dalam pengembangan infrastruktur. Tujuan kebijakan ini selaras dengan misi pemerataan akses digital yang diharapkan dapat mendukung sektor pendidikan, layanan kesehatan, serta penguatan ekonomi digital dalam kerangka transformasi digital nasional.
Dinamika Persaingan Industri Telekomunikasi
Penetapan MyRepublic dan Viberlink sebagai pemenang lelang di beberapa wilayah strategis Indonesia mencerminkan dinamika baru dalam industri telekomunikasi nasional. Dominasi pemain lama seperti Telkom, Indosat, dan XL diperkirakan akan menghadapi tantangan kompetitif yang signifikan [2].
Masuknya pemain baru diharapkan mampu menghadirkan variasi layanan yang lebih beragam sekaligus mendorong harga yang lebih kompetitif bagi masyarakat. Namun demikian, keberhasilan mereka akan sangat bergantung pada kapasitas dalam membangun infrastruktur dan menjaga keberlanjutan model bisnis dalam skala nasional.
Potensi Dampak Ekonomi dan Sosial
Hadirnya internet murah berpotensi memberikan dampak luas terhadap penguatan ekonomi dan pemerataan sosial. UMKM dapat memperluas pasar serta meningkatkan efisiensi operasional melalui platform digital. Dalam sektor pendidikan, layanan e-learning menjadi lebih mudah diakses oleh peserta didik di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) [3].
Selain itu, layanan telemedicine dapat menjangkau masyarakat di daerah yang jauh dari fasilitas kesehatan. Dengan demikian, kebijakan broadband murah bukan sekadar penyediaan akses, melainkan katalis penting dalam mempercepat pemerataan manfaat digital di seluruh Indonesia.
Risiko Implementasi : Ancaman Kualitas dan Keberlanjutan
Di sisi lain, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan sejumlah permasalahan apabila tidak dikelola dengan baik.
Pertama, penerapan tarif rendah dapat menurunkan kualitas layanan apabila penyedia tidak memiliki kapasitas investasi yang memadai dalam pembangunan dan pemeliharaan jaringan.
Kedua, secara finansial, model bisnis berbasis tarif murah membutuhkan jumlah pelanggan yang sangat besar agar dapat menjaga keberlanjutan operasi.
Ketiga, terdapat risiko munculnya monopoli baru jika persaingan tidak berjalan efektif dan pengawasan regulatif lemah.
Keempat, peningkatan jumlah pengguna internet juga harus diimbangi dengan penguatan keamanan siber serta perlindungan data pribadi untuk mengurangi risiko serangan dan kebocoran informasi [4].
Apabila aspek-aspek tersebut diabaikan, maka kesenjangan digital tetap berpotensi terjadi, terutama jika pembangunan jaringan lebih berfokus pada wilayah yang menguntungkan secara ekonomi.
Peran Regulasi dalam Menjamin Pemerataan Digital
Pemerintah bersama lembaga regulator memegang peran kunci dalam memastikan layanan internet murah berjalan sesuai tujuan. Diperlukan sistem pemantauan regulatif yang ketat terhadap standar Quality of Service (QoS) melalui mekanisme evaluasi berkala [5].
Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif pembangunan jaringan di wilayah tertinggal guna mengurangi ketimpangan akses. Keterlibatan masyarakat sebagai pengguna juga penting untuk mendorong transparansi layanan dan mencegah praktik bisnis yang merugikan konsumen, seperti batas kuota tersembunyi atau penurunan kecepatan tanpa pemberitahuan.
Menuju Inklusi Digital yang Berkeadilan
Kehadiran MyRepublic dan Viberlink sebagai penyedia broadband murah berbasis frekuensi 1,4 GHz merupakan langkah strategis dalam mempercepat transformasi digital nasional. Internet murah memiliki potensi besar untuk memperluas akses pendidikan, memperkuat ekonomi digital, dan meningkatkan efisiensi layanan publik.
Namun demikian, optimalisasi kebijakan ini menuntut komitmen kuat pada pemerataan layanan, pengawasan kualitas yang konsisten, serta penerapan standar keamanan siber yang memadai.
Internet murah seharusnya menjadi jalan menuju inklusi digital, bukan pemicu ketimpangan baru. Dengan tata kelola yang baik dan sinergi antara pemerintah, industri, dan masyarakat, Indonesia memiliki peluang besar untuk mewujudkan masa depan digital yang berdaya saing global dan berkeadilan bagi seluruh warga negara. [ir/311025]
Referensi (IEEE Style)
[1]
Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia, “Kebijakan Pemanfaatan
Frekuensi 1.4 GHz untuk Akses Internet Berkecepatan Tinggi,” Jakarta, 2025.
[2] M. Hadi dan R. F. Sari, “Kompetisi Industri Telekomunikasi dan Tren
Infrastruktur Broadband di Indonesia,” Jurnal Teknologi Informasi Indonesia,
vol. 13, no. 2, pp. 85–94, 2024.
[3] S. Widodo dan A. Permana, “Peran Internet dalam Transformasi Pendidikan
Daring di Wilayah 3T,” Jurnal Kebijakan Pendidikan, vol. 9, no. 1, pp.
22–35, 2023.
[4] B. Pratama, “Keamanan Siber pada Infrastruktur Digital Nasional,” Jurnal
Keamanan Informasi, vol. 5, no. 1, pp. 44–59, 2023.
[5] A. Gunawan dan D. A. Putri, “Evaluasi Regulatory Performance pada Layanan
Broadband di Indonesia,” Jurnal Regulasi & Telekomunikasi, vol. 4,
no. 3, pp. 110–126, 2024.

0 Komentar