Ketika Sepak Bola Dikendalikan Remote Politik : PSSI Tersingkir Piala Dunia 2026


Tersingkirnya Timnas Indonesia dari kualifikasi Piala Dunia 2026 bukan hanya kekalahan di atas rumput hijau, tapi juga potret buram dari penyakit lama yang tak kunjung sembuh intervensi politik dalam tubuh PSSI. Ini bukan semata-mata soal strategi pelatih, kualitas pemain, atau persiapan fisik. Ini adalah kisah klasik bagaimana sepak bola Indonesia selalu menjadi arena perebutan pengaruh, panggung pencitraan, dan ladang ekonomi bagi mereka yang melihat bola bukan sebagai olahraga, melainkan alat kekuasaan.

Politik di Balik Sepatu Bola

Sejak era reformasi, sepak bola Indonesia tak pernah benar-benar lepas dari tangan para politisi. Setiap periode kepemimpinan PSSI selalu ada figur yang lebih dikenal di Senayan ketimbang di stadion. Jabatan di federasi sepak bola menjadi magnet kuat bagi mereka yang ingin memperluas pengaruh. Sepak bola adalah olahraga rakyat, dan menguasainya berarti menguasai simpati massa.

Namun, yang paling berbahaya bukanlah ambisi politik itu sendiri, melainkan efek domino yang ditimbulkannya. Perekrutan pelatih tidak lagi murni berdasar merit dan visi jangka panjang, melainkan kompromi politik. Pemilihan pemain bisa diwarnai tekanan dari pihak-pihak berkepentingan. Klub-klub tertentu mendapatkan keistimewaan, sementara lainnya dipinggirkan karena tak punya “orang dalam”.

Sepak Bola Jadi Lumbung Bisnis

Di balik layar, sepak bola modern adalah bisnis besar  dan di Indonesia, bisnis itu sering kali lebih besar dari prestasi. Sponsor, hak siar, dan kontrak pemain menjadi sumber dana yang menggiurkan. Tak heran jika posisi di PSSI diperebutkan layaknya kursi strategis di BUMN.
Sayangnya, orientasi bisnis ini sering kali berjalan tanpa etika profesionalisme. Alih-alih digunakan untuk membangun infrastruktur, akademi muda, atau kompetisi usia dini, dana besar justru tersedot untuk kepentingan segelintir elit.

Sementara itu, pelatih dan pemain harus berjuang dalam sistem yang tidak sehat. Ketika keputusan strategis diambil bukan berdasarkan analisis teknis, melainkan kepentingan pribadi dan kelompok, hasilnya sudah bisa ditebak — kekalahan demi kekalahan yang menyakitkan.

PSSI dan Siklus Kekuasaan

Masalah utama sepak bola Indonesia bukan kekurangan talenta, melainkan kelebihan ego. Setiap kali pergantian kepemimpinan PSSI terjadi, program lama dibuang, filosofi baru diperkenalkan, dan pelatih kembali diganti. Tidak ada kesinambungan, tidak ada arah jangka panjang.
Setiap pengurus datang dengan “visi besar”, tetapi yang pergi meninggalkan “jejak gagal”. Dan rakyat  para pecinta bola sejati  hanya bisa kembali kecewa, menyaksikan bendera merah putih gugur di kualifikasi tanpa sempat berkibar di pentas dunia.

Sepak Bola Harus Dikelola oleh Ahlinya

Jika ingin keluar dari lingkaran setan ini, satu hal yang harus dilakukan adalah menjauhkan sepak bola dari politik praktis. PSSI seharusnya dipimpin oleh orang yang lahir dan besar dari dunia bola, bukan mereka yang menjadikannya batu loncatan ke panggung kekuasaan.
FIFA dan AFC sudah lama menegaskan bahwa federasi sepak bola nasional harus bebas dari intervensi politik. Namun di Indonesia, seruan itu sering hanya menjadi formalitas  dijalankan di atas kertas, tetapi dilanggar dalam praktik.

Kekalahan yang Lebih dari Sekadar Skor

Tersingkir dari kualifikasi Piala Dunia 2026 bukan hanya soal gagal mencetak gol. Ini kegagalan kolektif sebuah sistem yang dikuasai kepentingan. Setiap kali peluit panjang dibunyikan, publik mungkin menyalahkan pemain atau pelatih. Tapi di balik kekalahan itu, ada struktur rusak yang terus dipelihara.


Timnas tidak butuh motivator politik, tapi manajemen yang jujur, profesional, dan konsisten. Tanpa perubahan mendasar, Indonesia akan terus menjadi “raja tanpa mahkota” meriah di tribun, gaduh di media, tapi nihil prestasi di lapangan.

Saatnya Melepas Cengkeraman

Sepak bola seharusnya milik rakyat, bukan milik partai, bukan milik kelompok tertentu. Saat para pengurus lebih sibuk membangun jaringan kekuasaan ketimbang sistem pembinaan, maka kekalahan hanyalah konsekuensi logis.

Jika PSSI ingin kembali dipercaya, langkah pertama adalah membersihkan diri dari para penunggang politik.

Sebab selama “remote control” sepak bola Indonesia masih dipegang oleh tangan-tangan kekuasaan, maka jangan salahkan pemain  yang sebenarnya hanya pion dalam pertandingan yang lebih besar : pertarungan kepentingan.

"Bola itu seharusnya bulat. Tapi di Indonesia, bola bisa berubah bentuk tergantung siapa yang pegang kekuasaan."  [121025]

Posting Komentar

0 Komentar