Kisah Whoosh dan Si Keras Kepala

 

Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung, Whoosh, sejak awal seharusnya sudah menyala lampu merah: biaya “menggusur” ambang wajar, skema pembiayaan yang berpindah cepat, serta sinyal perubahan yang mengkhawatirkan.
Namun ironinya, sosok yang paling lantang mendukung proyek ini  yaitu Luhut Binsar
Panjaitan  seakan mengangkat proyek yang oleh banyak pihak sudah dinyatakan “busuk” sejak awal. Seolah bukan hanya melanjutkan, tapi memperkuat tabir atas segala kekeliruan itu.

  1. Busuk sejak awal

Kenaikan biaya hingga tiga kali lipat dibanding prakiraan awal: dari sekitar US$17–18 juta per kilometer menjadi US$52 juta per kilometer. Ini bukan hanya soal efisiensi—ini soal akuntabilitas pengambilan keputusan sejak tahap desain dan skema. Proyek yang seharusnya bersih dari beban APBN tiba-tiba dikaitkan dengan jaminan APBN.

  1. Pendukung utama yang tak lekang dari kritik

Luhut, yang kini mengambil peran turun langsung menyelesaikan utang proyek ini, justru berdiri di posisi yang paradoks: dia yang paling keras mendukung saat semua lampu merah berkedip.  Bagaimana bisa seseorang mengambil peran “penyelamat” di tengah proyek yang sudah diidentifikasi bermasalah? Apakah ini sinyal bahwa kurangnya pengawasan sejak awal justru dibungkus dalam narasi “kemajuan”?

  1. Akuntabilitas yang terabaikan

Bila benar ada mark-up atau pembengkakan biaya, maka siapa yang harus bertanggung jawab? Jika proyek ini dimotori oleh figur yang punya kedekatan erat dengan jalur keputusan strategis, maka wajar publik menuntut transparansi penuh.  Jangan sampai narasi “aku yang selesaikan” menjadi tabir penutup yang menggantikan narasi “siapa yang mulai dan siapa yang harus jawab”.

  1. Pelajaran untuk kebijakan proyek public

Proyek besar dengan melalui “business to business” lalu bergeser ke jaminan APBN seakan memperlihatkan bahwa ketika kontrol mekanisme lemah, maka skema “swasta” pun bisa lunak menjadi beban publik. Ini bukan hanya soal Whoosh ini soal bagaimana mekanisme awal proyek survey dana eksekusi kita bisa dikritisi.

Tidak salah mendukung transformasi transportasi cepat antara Jakarta dan Bandung  tetapi salah besar jika dukungan datang tanpa pengusutan dan pengamanan mekanisme sejak awal. Bila proyek ini dimulai dengan “keraguan”, maka bukan figur yang harus dimuliakan sebagai penyelamat, melainkan sistem yang harus dibenahi.
Selayaknya: siapa pun yang paling keras mendukung, juga harus paling siap menjawab ketika fakta memperlihatkan bahwa proyek itu “busuk sejak awal”. [ir/231025]

Posting Komentar

0 Komentar