Proyek
kereta cepat Jakarta–Bandung, Whoosh, sejak awal seharusnya sudah menyala lampu
merah: biaya “menggusur” ambang wajar, skema pembiayaan yang berpindah cepat,
serta sinyal perubahan yang mengkhawatirkan.
Namun ironinya, sosok yang paling lantang mendukung proyek ini yaitu Luhut Binsar Panjaitan seakan
mengangkat proyek yang oleh banyak pihak sudah dinyatakan “busuk” sejak awal.
Seolah bukan hanya melanjutkan, tapi memperkuat tabir atas segala kekeliruan
itu.
- Busuk sejak awal
Kenaikan biaya hingga tiga kali lipat dibanding prakiraan awal: dari sekitar US$17–18 juta per kilometer menjadi US$52 juta per kilometer. Ini bukan hanya soal efisiensi—ini soal akuntabilitas pengambilan keputusan sejak tahap desain dan skema. Proyek yang seharusnya bersih dari beban APBN tiba-tiba dikaitkan dengan jaminan APBN.
- Pendukung utama yang tak lekang dari kritik
Luhut, yang kini mengambil peran turun langsung menyelesaikan utang proyek ini, justru berdiri di posisi yang paradoks: dia yang paling keras mendukung saat semua lampu merah berkedip. Bagaimana bisa seseorang mengambil peran “penyelamat” di tengah proyek yang sudah diidentifikasi bermasalah? Apakah ini sinyal bahwa kurangnya pengawasan sejak awal justru dibungkus dalam narasi “kemajuan”?
- Akuntabilitas yang terabaikan
Bila benar ada mark-up atau pembengkakan biaya, maka siapa yang harus bertanggung jawab? Jika proyek ini dimotori oleh figur yang punya kedekatan erat dengan jalur keputusan strategis, maka wajar publik menuntut transparansi penuh. Jangan sampai narasi “aku yang selesaikan” menjadi tabir penutup yang menggantikan narasi “siapa yang mulai dan siapa yang harus jawab”.
- Pelajaran untuk kebijakan proyek public
Proyek besar dengan melalui “business to business” lalu bergeser ke jaminan APBN seakan memperlihatkan bahwa ketika kontrol mekanisme lemah, maka skema “swasta” pun bisa lunak menjadi beban publik. Ini bukan hanya soal Whoosh ini soal bagaimana mekanisme awal proyek survey dana eksekusi kita bisa dikritisi.
Tidak
salah mendukung transformasi transportasi cepat antara Jakarta dan Bandung tetapi salah besar jika dukungan datang tanpa
pengusutan dan pengamanan mekanisme sejak awal. Bila proyek ini dimulai dengan
“keraguan”, maka bukan figur yang harus dimuliakan sebagai penyelamat,
melainkan sistem yang harus dibenahi.
Selayaknya: siapa pun yang paling keras mendukung, juga harus paling siap
menjawab ketika fakta memperlihatkan bahwa proyek itu “busuk sejak awal”.
[ir/231025]

0 Komentar