Di era digital yang serba terhubung, keamanan siber bukan lagi sekadar isu teknis, tetapi telah menjadi dimensi strategis dari kedaulatan nasional. Serangan siber, pencurian data, penyebaran hoaks dan disinformasi kini menjadi ancaman nyata bagi stabilitas negara dan keamanan publik. Karena itu, wacana pembuatan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) menjadi langkah penting bagi Indonesia.
Namun, dibalik niat baik tersebut, RUU KKS juga menimbulkan kekhawatiran: apakah undang-undang ini akan benar-benar memperkuat keamanan digital bangsa atau justru membuka jalan bagi pembatasan kebebasan sipil dan melemahkan prinsip demokrasi?
Tujuan dan Arah RUU KKS
RUU KKS dirancang untuk menjadi payung hukum nasional dalam menghadapi ancaman di ruang siber. Pemerintah dan DPR menilai, Indonesia membutuhkan sistem keamanan digital yang kuat, terintegrasi, dan berkelanjutan. Melalui undang-undang ini, negara ingin memastikan bahwa infrastruktur vital seperti jaringan telekomunikasi, perbankan, energi, dan data pemerintahan terlindungi dari gangguan dan serangan.
RUU ini juga diharapkan memperjelas kewenangan antar lembaga seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Polri, BIN, hingga TNI, agar dapat bekerja sinergis dalam menangani insiden siber.
Secara ideal, regulasi seperti ini dibutuhkan. Dunia maya kini adalah “ruang publik baru” tempat warga berinteraksi, berekspresi, berdagang, bahkan berpolitik. Karenanya, keamanan digital harus dijaga seperti halnya keamanan fisik.
Kekhawatiran atas Keterlibatan TNI dan Ancaman terhadap Supremasi Sipil
Salah satu pasal yang paling mendapat sorotan publik adalah pemberian kewenangan penyidikan kepada TNI dalam urusan siber. Beberapa kelompok masyarakat sipil menilai, pelibatan militer dalam penegakan hukum di ranah sipil merupakan langkah mundur bagi demokrasi.
Dalam sistem demokrasi modern, supremasi sipil adalah prinsip utama : penegakan hukum terhadap warga sipil seharusnya menjadi ranah kepolisian dan lembaga yudisial, bukan militer. Jika kewenangan penyidikan diberikan kepada TNI tanpa batasan yang jelas, potensi penyalahgunaan wewenang bisa terbuka lebar apalagi di ranah yang sedemikian luas dan cair seperti ruang siber.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Beberapa draf RUU KKS yang beredar sebelumnya menyebutkan bahwa ancaman terhadap “keamanan dan ketahanan siber negara” dapat ditindak sebagai “makar digital”. Istilah ini masih sangat kabur dan berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau pandangan politik yang berbeda.
Demokrasi dan Ruang Digital : Antara Keamanan dan Kebebasan
Demokrasi membutuhkan ruang publik yang bebas, terbuka dan kritis. Di era digital, ruang itu kini berpindah ke media sosial, blog, dan platform komunikasi daring. Di sinilah rakyat menyalurkan aspirasi, mengawasi kekuasaan, dan membentuk opini bersama.
Karena itu, RUU KKS seharusnya tidak sekadar berorientasi pada keamanan negara, tetapi juga pada perlindungan hak-hak digital warga negara. Undang-undang ini perlu menjamin kebebasan berekspresi, hak atas privasi, serta keamanan data pribadi sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.
Jika tidak diatur dengan hati-hati, konsep “keamanan” yang terlalu luas dapat berubah menjadi instrumen kontrol negara. Ancaman terhadap demokrasi bukan hanya datang dari serangan siber luar negeri, tetapi juga dari kebijakan dalam negeri yang mengekang kebebasan berekspresi atas nama stabilitas.
Kelemahan Konseptual : Antara Keamanan Siber dan Kejahatan Siber
Kritik lain yang muncul adalah kaburnya batas antara “keamanan siber” dan “kejahatan siber”. Dalam beberapa draf, RUU KKS tampak mencampuradukkan kedua ranah tersebut. Padahal, keamanan siber lebih menitikberatkan pada perlindungan sistem dan infrastruktur digital, sementara kejahatan siber berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan individu di dunia maya.
Tanpa kejelasan definisi, ruang penegakan hukum bisa menjadi multitafsir. Akibatnya, seseorang yang sekadar mengkritik kebijakan publik di media sosial bisa saja dikategorikan sebagai “ancaman siber”. Inilah yang harus dihindari jika Indonesia ingin tetap menjadi negara demokratis dengan kebebasan berpendapat yang sehat.
Menyeimbangkan Keamanan dan Demokrasi
RUU KKS sejatinya dapat menjadi pondasi penting bagi ketahanan digital nasional jika disusun dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar RUU ini tidak keluar dari
semangat demokrasi:
- Pemisahan
tegas antara ranah militer dan sipil.
TNI sebaiknya hanya terlibat dalam konteks pertahanan negara terhadap serangan siber dari luar negeri, bukan dalam penyidikan terhadap warga sipil. - Penegasan
hak-hak digital warga.
Undang-undang ini harus menjamin hak atas privasi, kebebasan berekspresi, dan perlindungan data pribadi. - Mekanisme
pengawasan independen.
Perlu dibentuk lembaga pengawas yang bersifat sipil dan terbuka untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kewenangan. - Definisi
hukum yang jelas.
Istilah seperti “makar digital”, “keamanan siber”, dan “ketahanan siber” harus dirumuskan dengan ketat agar tidak multitafsir. - Keterlibatan
publik dan transparansi proses legislasi.
RUU KKS harus dibahas secara terbuka dengan melibatkan akademisi, pakar teknologi, masyarakat sipil, dan komunitas digital.
Penutup : Membangun Keamanan Tanpa Mengorbankan Kebebasan
Keamanan siber adalah kebutuhan bangsa di era digital, tetapi demokrasi adalah fondasi keberlangsungan bangsa itu sendiri. Dalam semangat reformasi dan supremasi sipil, RUU KKS harus memastikan bahwa upaya menjaga keamanan digital tidak menjadi dalih untuk membatasi kebebasan warga negara.
Negara
yang benar-benar kuat bukan hanya yang mampu melindungi data dan jaringan,
tetapi juga yang berani menjaga ruang kebebasan dan keadilan warganya.
Keamanan digital dan demokrasi seharusnya berjalan seiring, bukan saling
meniadakan. [ir/141025]

0 Komentar