Masalah kuota internet yang hangus setiap akhir masa aktif bukan sekadar persoalan teknis atau aturan paket data yang perlu “dipahami konsumen”. Ini adalah masalah keadilan ekonomi yang menyentuh hak publik. Ketika seseorang membeli kuota, ia sudah membayar akses terhadap layanan. Namun sisa kuota yang belum terpakai kemudian lenyap begitu saja tanpa pengembalian nilai apa pun. Rakyat telah membayar penuh, tetapi hak layanan dicabut sepihak oleh kebijakan yang menguntungkan operator.
Menurut Indonesian Audit Watch (IAW), potensi kerugian akibat sistem kuota hangus ini mencapai sekitar Rp 63 triliun per tahun angka yang mencengangkan. Bayangkan, dana sebesar itu seakan lenyap dari dompet rakyat hanya karena regulasi yang dibiarkan lemah dan praktik bisnis yang tidak berpihak pada konsumen. Jika dibagi rata, potensi kerugian ini bisa membiayai akses internet gratis bagi jutaan pelajar setiap tahun, atau menopang percepatan literasi digital nasional secara signifikan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya konsumen kian dirugikan.
Dalam situasi di mana akses internet telah menjadi kebutuhan dasar untuk bekerja, belajar, hingga mengurus layanan publik, hilangnya kuota berarti hilangnya kesempatan. Pelajar yang kesulitan sinyal dan hemat-hemat kuota di daerah terpencil harus menerima kenyataan pahit kuota yang belum sempat dipakai karena keterbatasan jaringan malah hangus. Pekerja informal yang menggantungkan pendapatan pada aktivitas online juga terkena imbasnya. Ada ketimpangan akses yang makin menganga, padahal pemerintah sedang gencar mendorong transformasi digital.
Sementara itu, dari sisi ekosistem industri, praktik hangus ini menjadi ruang gelap yang minim transparansi. Konsumen tidak tahu kemana nilai ekonomis dari kuota yang hilang itu bermuara. Tidak ada laporan publik mengenai bentuk kompensasi, audit, atau redistribusi manfaat kepada pelanggan. Pada titik inilah persoalan tidak lagi sekadar bisnis, tetapi moralitas, apakah adil mengambil sesuatu yang telah dibayar rakyat tanpa diberi apa pun sebagai gantinya ?
Pemerintah memiliki peran penting untuk hadir dan mempertegas aturan. Banyak negara telah menerapkan rollover data kuota yang tidak terpakai dapat terakumulasi ke bulan berikutnya. Hal ini adalah bentuk penghormatan terhadap hak konsumen atas produk yang telah dibeli. Indonesia harus berani menuntut standar yang sama dari operator. Audit sektor telekomunikasi perlu dilakukan secara menyeluruh dan terbuka, dengan keberpihakan pada kepentingan publik sebagai prioritas utama.
Jika perubahan tidak dilakukan, maka kita sedang menyaksikan praktik pemungutan biaya diam-diam dalam industri yang menjadi tulang punggung ekonomi digital. Rp 63 triliun per tahun bukan sekadar angka statistic itu adalah potret nyata betapa hak rakyat dapat terampas hanya karena mekanisme yang tak adil dibiarkan terus berjalan.
Saatnya memastikan bahwa digitalisasi tidak hanya menguntungkan korporasi, tetapi juga melindungi rakyat yang membayarnya. Sebab akses internet bukan kemewahan melainkan hak di era modern. [ir/081125]

0 Komentar