Bukan Takdir Tuhan, Tapi Warisan Dosa Izin Tragedi Deforestasi dan Jerat Oligarki di Tanah Sumatera

Pulau Sumatera, yang dulu dikenal sebagai paru-paru dunia dengan hamparan hutan tropisnya, kini berulang kali meraung menanggung bencana. Setiap kali banjir bandang atau tanah longsor melanda, memakan korban jiwa, dan merenggut harta benda, narasi klise dari para pemangku kebijakan hampir selalu sama: "Ini sudah takdir Tuhan," atau "Faktor cuaca ekstrem."

Namun, di balik pernyataan normatif yang seolah memadamkan tanggung jawab, terdapat jejak panjang kehancuran ekologis yang terstruktur dan terlegitimasi oleh izin-izin resmi dari pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan.

Data yang Bicara  Raja Obral Izin Hutan

Betapa masifnya konversi hutan menjadi perkebunan sawit dalam periode 2004 hingga 2017. Selama rentang waktu tersebut, jutaan hektare hutan diubah statusnya.

Data dari Greenomics Indonesia – Y14 menunjukkan fakta mencengangkan mengenai luas izin yang dikeluarkan oleh para menteri di Kementerian Kehutanan:

·       Zulkifli Hasan (2009–2014) : Memberikan izin konversi seluas 1,64 juta hektare.

·       MS Kaban (2004–2009) : Memberikan izin seluas 600 ribu hektare.

·       Siti Nurbaya (2014–2024) : Memberikan izin seluas 216 ribu hektare.

Angka 1,64 juta hektare yang dikeluarkan oleh Zulkifli Hasan adalah yang terbesar, menjadikannya 'Raja Obral Izin Hutan' dalam periode tersebut. Jumlah ini setara dengan ratusan kali lipat luas wilayah DKI Jakarta, dihancurkan demi kepentingan komoditas.

Ironi Izin dan Kongkalikong Oligarki

Pembalakan liar (illegal logging) sering kali menjadi kambing hitam tunggal. Padahal, bencana ekologis terbesar di Sumatera justru datang dari praktik deforestasi yang legal yang diizinkan oleh segelintir pejabat yang berwenang.

1.  Legitimasi Kehancuran: Izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dan izin konversi lahan untuk perkebunan sawit menjadi golden ticket bagi korporasi dan oligarki untuk mengeruk keuntungan tanpa batas. Izin ini diberikan di atas lahan gambut yang seharusnya dilindungi dan di atas hutan primer yang berfungsi vital sebagai penyerap air alami.

2.  Hilangnya Fungsi Ekologis: Ketika hutan dihancurkan, yang hilang bukan hanya pohon. Ekosistem hutan adalah sistem tata air alami. Akar-akar menahan tanah, sementara kanopi pohon menahan laju air hujan. Ketika kawasan resapan air ini hilang, tanah menjadi gundul dan tidak mampu menahan volume air hujan yang ekstrem.

3.  Banjir Bukan Bencana, Tapi Akibat: Banjir bandang di Sumatera, terutama di kawasan yang berbatasan langsung dengan konsesi perusahaan, bukanlah murni bencana alam. Ia adalah konsekuensi logis dari keputusan para pejabat yang menukar fungsi ekologis hutan dengan imbalan ekonomi jangka pendek.

Respons Pasca Bencana Membungkam Nurani dengan "Takdir Tuhan"

Puncak ironi terjadi ketika tragedi banjir dan longsor menimpa. Pejabat yang tanda tangannya melegitimasi kehancuran atau penerus mereka yang mewarisi masalah ini dengan mudah berlindung di balik frasa "itu sudah takdir Tuhan" atau "fenomena alam."

Respons ini adalah upaya cuci tangan kolektif yang menyakitkan. Alih-alih mengakui kegagalan sistem pengawasan, praktik koruptif dalam pemberian izin, dan hubungan mesra antara pembuat kebijakan dengan pemodal perusak lingkungan (oligarki), mereka justru membebankan semua kesalahan pada 'takdir' yang tak terhindarkan.

Seperti yang diingatkan oleh Susi Pudjiastuti (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan), di saat bencana belum reda, kegiatan pengambilan kayu hutan sudah kembali terjadi. Ini adalah siklus abadi yang menunjukkan bahwa kepentingan bisnis dan keuntungan jangka pendek selalu ditempatkan di atas keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan.

"Marilah kita menuntut pertanggungjawaban dari para pejabat yang telah mengubah hutan menjadi ancaman. Bencana adalah alarm, dan kita harus berhenti menerima narasi 'takdir Tuhan' untuk tindakan manusia yang didorong oleh kongkalikong pejabat dengan oligarki perusak lingkungan."

Solusi atas tragedi Sumatera bukan hanya pada penanaman kembali, melainkan pada peninjauan ulang seluruh izin yang bermasalah, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku deforestasi legal maupun ilegal, dan pemutusan mata rantai kekuasaan yang membuat pejabat dapat menjual masa depan ekologis demi keuntungan sesaat. [ir/301125]

Posting Komentar

0 Komentar