Ketika Kemanusiaan Ada di Ujung Pemecatan, Guru di Luwu Utara dan Cermin Nurani Pendidikan

Kasus dua guru di SMAN 1 Luwu Utara yang dipecat karena memperjuangkan hak teman sejawat yang belum digaji selama 10 bulan bukan sekadar persoalan administratif ini adalah refleksi pahit dari kemanusiaan kita yang perlu dipertanyakan. Mereka bukan hanya dibayar dalam gaji yang tertunda, tetapi juga dibayar dengan keadilan yang retak. Sepuluh bulan tanpa gaji adalah luka panjang di tubuh sistem pendidikan dan birokrasi kita. 

Guru yang honor belum dibayar bukan hanya kehilangan penghasilan, mereka kehilangan pengakuan: pengakuan bahwa pekerjaan mereka mendidik adalah pekerjaan yang layak diapresiasi tanpa syarat. Ketika dua rekan mereka bangkit, bersuara, mengadvokasi, maka yang muncul bukan dialog dan penyelesaian, tapi pemecatan. Pelajaran: wacana “pendidikan sebagai pilar bangsa” tampak indah di deklarasi, namun realitasnya melanggar nilai dasar solidaritas. Pemecatan itu punya makna simbolik yang jauh lebih besar. Ia memberitahukan bahwa dalam roda pendidikan ini, siapa pun yang mengorganisir tuntutan keadilan bisa dilabeli sebagai “gangguan”. Guru yang seharusnya dilindungi, kini justru jadi korban kebijakan yang memilih diam. 

Demo Guru di Luwu (Sumber : Batampos.com)

 

Bukankah seharusnya pendidikan adalah labuh bagi keberanian moral untuk berbicara ketika ada yang salah? Apa yang terjadi pada guru-guru yang berani bersuara itu menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah sistem kita benar-benar menghargai profesi guru sebagai agen pembentuk generasi? Atau hanya sebagai pion dalam skema administratif yang bisa dibuang ketika “berisik”? Ketika mereka memberanikan diri menegakkan hak dasar yakni gaji yang layak dan tepat waktu mereka pun diberi “hukuman”. Padahal, mereka memperjuangkan bukan untung pribadi eksklusif, tapi kolektif: teman mereka yang berbeda nasib. Lebih lanjut, kasus ini menguak betapa lemahnya perlindungan terhadap tenaga honorer dalam sistem pendidikan. Jika guru kontrak atau honor selama 10 bulan saja bisa tidak digaji, apa artinya komitmen negara terhadap pemerataan kualitas pendidikan? Apa artinya jika mereka yang paling berhadapan langsung dengan murid dalam kelas, yang harus hadir dengan sepenuh hati, justru dibiarkan tanpa kepastian hidup? Ini bukan hanya soal gaji tertunda ini soal moral publik: bahwa kita mengabaikan insan yang mendidik anak bangsa. Tindakan pemecatan itu juga mencerminkan paradoks: pihak yang memperjuangkan keadilan malah diganjar penindasan. Guru itu memilih solidaritas ketika melihat ketidakadilan; dan solidaritas itu jelas manusiawi. 

Namun sistem memilih “hukuman” bukannya solusi. Bila ini dibiarkan terus, maka timbul efek menakutkan: siapa lagi yang berani membela keadilan dalam lingkungan sekolah? Siapa yang akan merasa aman untuk menyuarakan apabila sistem pendidikan justru menakuti mereka yang peduli? Dalam konteks kemanusiaan, rasa sakit guru-guru yang honornya tertunda adalah rasa sakit bersama. Bila satu bagian sistem pendidikan terpinggirkan, maka seluruh sistem ikut rapuh. Pendidikan tak hanya membutuhkan fisik: ruang kelas, buku, guru tetapi juga kepercayaan bahwa mereka yang bekerja di dalamnya dilindungi. Ketika perlindungan itu hilang, maka seluruh ruh pendidikan akan tergerus: kepercayaan masyarakat terhadap institusi menguap, guru sebagai teladan kehilangan kredibilitas bukan karena muridnya, melainkan karena lingkungan yang mengabaikan mereka. Oleh karena itu agar nurani kita tidak mati, ada beberapa hal mendesak yang harus dilakukan. 

Pertama, segera hentikan pemecatan yang bersifat represif terhadap mereka yang menuntut keadilan. Kedua, tuntasilah pembayaran hak guru honor tanpa penundaan, sebagai bentuk penghormatan terhadap profesi yang selama ini sering dianggap “kelas dua”. Ketiga, bangun sistem transparan yang memungkinkan guru dan tenaga honorer memantau status gaji dan hak-haknya agar tak ada lagi penundaan sepuluh bulan tanpa kejelasan. Kasus ini bukan hanya tanggung jawab regional atau satu sekolah. Ini panggilan Bersama kepada pemerintah, pemprov, dinas pendidikan, hingga masyarakat luas untuk melihat guru bukan sebagai beban anggaran, tetapi sebagai manusia. Guru bukan sekadar abdi sekolah; mereka adalah garda depan bangsa dalam membangun karakter dan masa depan. Ketika mereka terluka, maka kita semua terluka. Akhirnya, jika kita membiarkan dua guru dipecat karena membela teman-temannya, maka kita telah memilih untuk menghapus satu lapis kemanusiaan dalam dunia pendidikan. 

Andai kemanusiaan itu mati, siapa yang akan menghidupkan harapan di kelas-kelas? Andai nurani kita beku, siapa yang akan bersuara untuk keadilan bila bukan mereka yang pertama kali menegakkannya? Mari kita refleksikan: Pendidikan kita akan berjalan maju bukan hanya oleh kebijakan besar, melainkan oleh keadilan kecil yang nyata kepada guru, kepada manusia. Dan jika kita tidak memulainya dari kasus seperti ini, maka kita hanya akan membangun sistem yang hebat di atas jenazah keadilan. [ir/71125]

Posting Komentar

0 Komentar