Banjir bandang di Batangtoru pada 25 November 2025 bukanlah bencana tiba-tiba. Ia bukan sekadar peristiwa alam, bukan pula sekadar “cuaca ekstrem”. Banjir bandang ini adalah akumulasi dari kebijakan zig-zag Kementerian Kehutanan yang memutus akal sehat dan menutup mata dari realitas kerusakan hutan. Dan ketika kebijakan kacau, rakyatlah yang menjadi korbannya.
H. Gus Irawan Pasaribu, SE, AK, MM, CA, Bupati Tapanuli Selatan, menceritakan kronologi lengkap yang semestinya menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat. Penjelasannya menggambarkan bagaimana Pemkab Tapsel sudah berusaha mencegah bencana sebelum bencana itu menelan Batangtoru, namun langkah itu justru dilemahkan dari atas.
Semua bermula pada Juli 2025. Pemkab Tapsel menerima surat dari Direktorat Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Kehutanan. Isinya tegas dan melegakan: penghentian sementara Pengelolaan Hak Atas Tanah (PHAT) mekanisme kerja sama korporasi dan masyarakat untuk pengambilan kayu di kawasan tertentu. Surat itu seharusnya menjadi tameng awal melindungi hutan Batangtoru dari eksploitasi berlebihan.
Bagi daerah, keputusan itu bukan sekadar administrasi. Itu adalah secercah harapan. Gus Irawan bahkan langsung mengeluarkan surat edaran kepada para camat dan lurah agar instruksi Kemenhut dijalankan penuh tanpa kompromi. Pemkab bergerak sigap karena tahu betul: ketika pohon ditebang, air tak punya lagi tempat menahan dirinya.
Namun
yang terjadi berikutnya justru seperti tamparan keras bagi pemerintah daerah.
Hanya berselang beberapa bulan, tepatnya sekitar Oktober, izin penebangan
itu dibuka kembali. Tanpa sosialisasi memadai, tanpa argumentasi kuat,
tanpa evaluasi komprehensif terkait risiko ekologis yang sedang mengintai.
Sebuah keputusan yang “di atas kertas” mungkin terlihat administratif, tetapi “di bawah”, di tanah Batangtoru, keputusan itu berarti mesin chainsaw kembali meraung, kayu kembali keluar, dan hutan kembali terkoyak.
Pemkab Tapsel tentu tidak tinggal diam. Melihat risiko yang makin nyata, Gus Irawan mengirim surat resmi pada 14 November kepada Direktorat Pengelolaan Hutan Lestari. Isi surat itu tegas: mengusulkan penghentian total aktivitas penebangan. Bukan hanya dihentikan sementara, tetapi dihentikan sepenuhnya sampai ada kajian objektif yang memastikan keselamatan warga.
Tapi apa yang terjadi ?
Instruksi daerah ditabrak begitu saja. Pada awal November bahkan sebelum surat keberatan itu dibalas kerja sama korporasi dan masyarakat sudah kembali beroperasi penuh. Kemenhut tampaknya lebih cepat membuka izin daripada mendengar suara daerah yang paling dekat dengan dampaknya.
Dan hanya beberapa minggu kemudian, 25 November, Batangtoru diterjang banjir bandang. Rumah hanyut. Jembatan putus. Warga mengungsi. Tanah longsor menggerus punggung bukit, meninggalkan luka besar bukan hanya di alam, tapi di hati masyarakat.
Bencana ini bukan kebetulan. Ia adalah konsekuensi dari keterlambatan merespons dan ketidakpastian kebijakan. Ketika pemerintah pusat tak konsisten menjaga hutan, daerah hanya bisa menambal celah sambil berharap langit tak runtuh.
Di titik ini, pertanyaan tajam mesti diajukan kepada Kementerian Kehutanan:
- Mengapa izin yang sudah dihentikan justru dibuka kembali tanpa kajian mendalam?
- Apa dasar teknis dan ekologis yang melandasi keputusan itu?
- Mengapa suara keberatan dari Pemkab Tapsel diabaikan?
- Mengapa kebijakan kehutanan begitu mudah berubah, sementara dampaknya begitu berat bagi masyarakat?
Hutan bukan sekadar angka dalam surat izin. Ia adalah sistem penyangga kehidupan, dinding alami yang menjaga air tetap di tempatnya. Ketika dinding itu dilemahkan oleh keputusan administratif yang inkonsisten, bencana tinggal menunggu momentum.
Di daerah seperti Tapanuli Selatan, pemerintah kabupaten berada di garis depan. Mereka yang mendengar jeritan warga, mereka yang melihat bukit gundul dengan mata kepala sendiri, mereka pula yang mengevakuasi, mengubur korban, dan memulihkan kehidupan pascabencana. Karena itu, ketika keputusan pusat dianggap tak selaras dengan realitas lapangan, kritik seperti yang disampaikan Gus Irawan bukan hanya sah tetapi wajib.
Kemenhut harus berhenti memandang hutan semata sebagai objek pemanfaatan. Hutan adalah ruang hidup, pelindung, sekaligus warisan ekologis yang tidak bisa diperlakukan sekehendak hati. Kebijakan kehutanan harus berdasarkan sains, bukan sekadar tanda tangan administratif.
Hari ini Batangtoru yang menangis. Besok bisa Mandailing, Pasaman, atau daerah lain yang juga berada di bawah ancaman kerusakan hutan. Tanpa perubahan mendasar pada cara pusat mengelola izin hutan, bencana ekologis akan terus berulang.
Jika negara tidak belajar dari Batangtoru, maka kita sedang berjalan menuju bencana yang lebih besar. Dan ketika itu tiba, jangan salahkan hujan. Jangan salahkan sungai. Salahkanlah kebijakan zig-zag yang mengorbankan hutan dan menghukum rakyat.
Karena ketika hutan disakiti, rakyatlah yang mati. [ir/081225]
0 Komentar